Lihat kalender pagi ini bikin senyam-senyum sendiri...
Tepat setahun yang lalu, jam 09.00 WITA, alhamdulillahirrabbil’alamin, ijab qabul itu terucap... Apa yang kami impikan dan kami doakan, akhirnya terwujud pada hari itu. Dan
sebuah quote dalam Novel 5 cm karya Donny Dirgantara pun
mengiringi:
Jumat, 28 Juni 2013
“Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika kita bisa melihat atau merasakan sebuah impian menjadi kenyataan”
Dan moment tersebut adalah salah satu keindahan itu...
Masih hangat dalam ingatan saya, saat Kakak
_begitulah saya memanggilnya_ menyampaikan keinginannya untuk mempertemukan dua
keluarga kami ini. Kakak menyampaikannya melalui telepon, karena memang saat
itu kami sangat susah untuk bertemu langsung. Saat itu saya terdiam cukup
lama..., saking lamanya membuat teleponnya tiba-tiba terputus, pulsa Kakak
habis. Setelah telponnya tersambung kembali, saya pun masih diam.
Akhirnya, tanggal telah ditetapkan, persiapan pun dimulai. Melihat pernikahan kakak-kakak terdahulu, saya jadi punya keinginan... kelak ketika saya menikah,
saya tidak ingin merepotkan orangtua, baik dari segi materi maupun non materi. Biarlah saya dan calon suami saya
kelak yang mengurus segala keperluannya. Orangtua harapannya agar menjaga
kesehatannya saja, agar bisa fit pas prosesi acara berlangsung.
TAPIIIIII... yang namanya orangtua, yang anak perempuan terakhirnya akan menikah, pastilah tidak ingin tinggal diam. Menatap wajah Bapak dan Ibu, rasanya tak tega bila harus menyusahkan mereka. Dengan niat baik, tulus, ikhlas dan suara dilembutkan, akhirnya saya bisa meyakinkan keduanya. Walaupun demikian, saya tetap meminta saran dan pertimbangan beliau, berdiskusi kira-kira apa yang perlu saya siapkan untuk acara tersebut. Sesekali pun mereka ikut membantu saya. Ahhh... Papa, ahhh... Mama :')
TAPIIIIII... yang namanya orangtua, yang anak perempuan terakhirnya akan menikah, pastilah tidak ingin tinggal diam. Menatap wajah Bapak dan Ibu, rasanya tak tega bila harus menyusahkan mereka. Dengan niat baik, tulus, ikhlas dan suara dilembutkan, akhirnya saya bisa meyakinkan keduanya. Walaupun demikian, saya tetap meminta saran dan pertimbangan beliau, berdiskusi kira-kira apa yang perlu saya siapkan untuk acara tersebut. Sesekali pun mereka ikut membantu saya. Ahhh... Papa, ahhh... Mama :')
Seminggu setelah acara berlangsung, kami pun (saya dan suami) harus segera ‘hijrah’ dari kota kelahiran menuju
daerah penugasan (Baca: From Makassar to Bulukumba). Dan disanalah kami
berdua tinggal, ya... hanya kami berdua. Tidak mudah memang meninggalkan
lingkungan yang sudah 24 tahun menjadi bagian dari diri sendiri. Dan
setelah apa yang saya jalani, saya bersyukur tinggal di tempat yang berbeda.
Banyak pelajaran yang saya dapat. Disitulah saya rasakan bahwa untuk bahagia itu bukan dengan APA, BERAPA, dan DIMANA, tapi dengan SIAPA dan BAGAIMANA kamu hidup.
Suatu hari saya pernah ditanya oleh salah satu teman kantor suami, dia perempuan dan belum menikah. Dia bertanya:
Suatu hari saya pernah ditanya oleh salah satu teman kantor suami, dia perempuan dan belum menikah. Dia bertanya:
“Bagaimana rasanya menikah?”
Sempat bingung menjawab pertanyaan itu, dalam hati
berpikir: Masa iya saya harus jelaskan rasanya? Ahhh... untunglah saya langsung tersadar dan mulai bisa mencerna dengan baik maksud
pertanyaannya itu (pengaruh lapar mungkin).
BAHAGIA. Menikah itu rasanya BAHAGIA. Jawaban yang klise mungkin, tapi bagi saya, itu lah satu kata yang bisa mewakili semuanya. Lalu kemudian ada komentar dari ibu beranak satu, dia berkata: “Iyalah bahagia, kan baru awal-awal, nanti lihat kalo sudah bertahun-tahun”.
BAHAGIA. Menikah itu rasanya BAHAGIA. Jawaban yang klise mungkin, tapi bagi saya, itu lah satu kata yang bisa mewakili semuanya. Lalu kemudian ada komentar dari ibu beranak satu, dia berkata: “Iyalah bahagia, kan baru awal-awal, nanti lihat kalo sudah bertahun-tahun”.
Saya pun terdiam. Saya butuh beberapa detik untuk mencerna maksud perkataan ibu itu. Apakah ibu ini tidak bahagia dengan pernikahannya? Atau ibu ini hanya merasakan kebahagiaan di awal pernikahan saja? Wallahu a'lam... yang jelas saya jadi punya bahan merenung.
Ya mungkin apa yang dikatakan ibu itu ada benarnya.
Semakin jauh semakin lama cobaan pun akan semakin keras. Hati akan mudah
dibolak-balikkan oleh Sang Pemilik Hati. Rasa sayang bisa berubah menjadi rasa
benci. Saya selalu ingat kata-kata yang diucapkan suami saya pada saat awal
pacaran kami. Kira-kira kalimatnya seperti ini:
“Apapun masalah yang
kita hadapi, jangan sampai ada terucap kata ‘putus’. Kalau perlu, hapuskan kata
‘putus’ itu dari pilihan solusi kita. Apa yang kita hadapi hanya
kerikil-kerikil, di depan sana akan ada batu, lalu ada batu yang lebih besar,
lalu ada batu yang lebih besar lagi, dan begitu seterusnya. Masa’ baru dengan
‘kerikil’ saja kita kalah, gimana mau lawan ‘batu besar’ kalau begitu?”
Intinya, jangan mau KALAH, harus MENANG!
Saya tidak tahu cobaan apa yang akan kami hadapi ke
depannya nanti. Ketika kita lulus dalam satu cobaan, akan datang lagi cobaan
yang lebih keras dari sebelumnya. Tujuannya ya untuk menguatkan kami lebih dari sebelumnya... dan kami harap, kami menghadapi semuanya dengan BAHAGIA yang
kami punya itu tadi. Sehingga apapun rencana Allah terhadap kami, kami jalani
dengan BAHAGIA. Dalam sebuah buku yang saya lupa judulnya, disitu tertulis bahwa:
"Menikah itu bukan hanya untuk punya anak, tapi untuk saling membahagiakan, dan itu
proses seumur hidup"
Ini baru awal, baru setahun... Masih ada beberapa
tahun sisa umur kami yang ingin kami habiskan bersama. Akan banyak cobaan, akan banyak nikmat, semuanya adalah ujian. Kami tidak memohon untuk
diringankan, tapi kami mohon dikuatkan. Ya Allah, bimbing kami untuk selalu di jalanMu. Bimbing kami untuk menjadi suami-istri yang sholeh-sholehah. Sakinah... Mawaddah... Warahmah...
"Dan diantara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (QS. Ar-Ruum: 21)
Amin ya rabbal alamin...
NB: Harapannya tulisan ini akan menjadi
pengingat bagi kami dikala lupa ;-)
0 comments:
Post a Comment